Catatan RUU KUHAP: Tidak Sinkron dengan UU KPK hingga Penyadapan Sewenang-wenang

 

beritakejahatan24jam - Pemerintah dan DPR sedang ngebut merampungkan pembahasan RUU KUHAP atau Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, yang ditargetkan selesai dalam dua kali masa sidang. hal ini karena KUHAP harus rampung sebelum Undang-undang KUHP resmi berlaku per 1 Januari 2026.

Baca Juga : Riza Chalid Tersangka Kasus Korupsi Pertamina Berjuluk The Gasoline Godfather

Akibatnya, muncul kekhawatiran pembahasan yang 'terburu-buru' itu menyebabkan munculnya banyak kekurangan dan kurang terserapnya aspirasi masyarakat.

Wakil Menteri Hukum Edward Omar Sharif Hiariej mengklaim Rancangan KUHAP yang dibahas bersama panitia kerja dari Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat RI telah mengakomodasi kepentingan masyarakat.

Menurut Eddy, kementeriannya telah berulang kali menggelar diskusi dengan berbagai pemangku kepentingan, termasuk koalisi masyarakat sipil. Hasil diskusi itu menjadi salah satu pertimbangan dalam penyusunan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU KUHAP yang telah dibahas dengan DPR.

“Kami melakukan diskusi yang melibatkan publik yang luar biasa ya, mulai dari kaolisi masyarakat sipil, para ahli, dan perguruan tinggi seluruh Indonesia,” ujar Eddy dalam konferensi pers di Gedung Parlemen Senayan pada Kamis, 10 Juli 2025.

Senada, Ketua Komisi Hukum DPR RI Habiburokhman mengatakan pembahasan RUU KUHAP telah dilakukan terbuka dan melibatkan berbagai elemen masyarakat. Dia mengklaim komisinya telah mendengar masukan dari 53 pihak dengan beragam latar belakang. Masukan itu menjadi dasar pembahasan 1.676 daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU KUHAP yang dilaksanakan bersama pemerintah.


Baca: Beda KUHAP dan KUHP


Politikus Partai Gerindra itu tidak sepakat dengan anggapan rumusan dalam RUU KUHAP tidak mewakili kepentingan publik. “Jadi silakan masyarakat yang menilai, kami yang omong kosong atau mereka yang omong kosong,” kata dia.


Namun sejumlah lembaga terus terang menyatakan keraguan mereka. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) misalnya, menilai ada ketidaksinkronan antara Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) dengan UU KPK.


Oleh sebab itu, lembaga antirasuah tersebut sempat menggelar diskusi kelompok terpumpun (FGD).


“Benar, pada Kamis, 10 Juli, KPK menggelar FGD dengan para ahli hukum untuk membahas terkait implikasi rancangan KUHAP, yang di mana beberapa pasalnya tidak sinkron dengan tugas dan kewenangan KPK yang telah diatur dalam undang-undang,” ujar jubir KPK Budi Prasetyo kepada Antara di Jakarta, Jumat, 11 Juli 2025.


Budi menjelaskan bahwa UU yang dimaksud adalah UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.


Dia mengatakan bahwa para ahli hukum dalam FGD tersebut mendukung penuh adanya pengaturan lex specialis dalam RUU KUHAP terkait penegakan hukum tindak pidana korupsi sebagaimana yang dilakukan KPK selama ini.


“Korupsi dipandang sebagai extraordinary crime, dan juga menjadi lex specialis dalam KUHP. Terlebih, kewenangan KPK dalam penyelidikan, penyidikan, penuntutan juga telah disahkan oleh Mahkamah Konstitusi,” katanya.


Polisi Bukan Penyidik Tunggal

Sebelumnya sempat muncul dalam draf RUU, bahwa polisi menjadi penyidik utama. Ketua Komisi III DPR Habiburokhman mengatakan, draf RUU KUHAP tidak memperkuat kewenangan Polri. Menurutnya, status Polri sebagai penyidik utama hanya ditegaskan secara redaksional dalam draf revisi. “Tidak benar Polri menjadi lebih powerful,” ujarnya, dalam konferensi pers, Jumat, 11 Juli 2025.


Ia menyatakan justru ada pengurangan kewenangan karena revisi kali ini mengakomodasi keberadaan penyidik dari lembaga lain seperti KPK, Kejaksaan Agung, dan instansi tertentu yang sebelumnya tidak disebutkan dalam KUHAP lama.


Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti Maria Silvy menilai, penetapan Polri sebagai penyidik utama dalam semua penyidikan tindak pidana sangat berbahaya. Menurut dia, status penyidik utama akan berdampak pada mekanisme pembuktian.


Komisi III DPR dan pemerintah juga sepakat mencabut Pasal 293 ayat 3 yang sebelumnya membatasi Mahkamah Agung untuk tidak menjatuhkan pidana lebih berat dari putusan pengadilan sebelumnya. “Jadi tidak ada ketentuan bahwa Mahkamah Agung tidak boleh menjatuhkan hukuman yang lebih berat daripada pengadilan sebelumnya,” kata Habiburokhman seperti dikutip dari Antara, 10 Juli 2025.


Pemerintah dan DPR sepakat menghapus larangan publikasi siaran langsung persidangan. Ketentuan itu mulanya termaktub dalam Pasal 253 RUU KUHAP. Habiburokhman mengatakan usulan penghapusan pasal itu diambil setelah mendengarkan masukan dari koalisi masyarakat sipil termasuk dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia.


Penyadapan Sewenang-wenang

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana  menyoroti soal bahaya penyadapan sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum yang akan masuk dalam KUHAP.


Ketentuan itu termaktub dalam Pasal 124 di dokumen daftar inventarisasi masalah (DIM) RKUHAP terbaru dari pemerintah, 11 Juli 2025. Pasal itu mengatur bahwa penyidik dapat melakukan penyadapan untuk kepentingan penyidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal itu juga mengatur bahwa penyadapan wajib mendapat izin ketua pengadilan negeri. Namun, ada tambahan di angka setelahnya. Penyadapan dapat dilaksanakan tanpa izin ketua pengadilan negeri dalam keadaan mendesak.


Salah satu keadaan mendesak menurut usulan pemerintah, adalah “situasi berdasarkan penilaian penyidik”. Artinya, penyidik bisa menentukan berdasarkan penilaian pribadinya apakah sebuah situasi mendesak atau tidak, sehingga membutuhkan penyadapan tanpa izin pengadilan.


Wakil Ketua Riset Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Arif Maulana menyorot bahaya dari pasal ini. Arif khawatir situasi “keadaan mendesak” bisa ditafsirkan secara subyektif oleh penilaian penyidik. YLBHI merupakan salah satu anggota Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP.


“Hal ini memberikan ruang yang besar bagi praktik abuse of power (penyalahgunaan wewenang),” katanya saat dihubungi Tempo pada Ahad, 13 Juli 2025.


Terlebih, kata dia, penyidik baru diwajibkan untuk meminta persetujuan pengadilan paling lama dua hari setelah melakukan penyadapan. Jika pengadilan menolak permintaan penyidik untuk menyadap, maka penyadapan yang sedang dilakukan wajib dihentikan. Hasil penyadapan juga harus dimusnahkan serta tidak dapat dijadikan sebagai barang bukti.


Ketentuan-ketentuan tersebut tampak dicoret dalam draf DIM hasil rapat tim perumus (timus) dan tim sinkronisasi (timsin) RKUHAP tertanggal 11 Juli 2025. Ketua Komisi III DPR Habiburokhman mengatakan parlemen berencana membuat undang-undang khusus tentang penyadapan.



0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama