Revisi KUHAP: Mulai dari Polri Penyidik Utama hingga Izin Penangkapan


beritakejahatan24jam - Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) seang membahas revisi Undang-Undang Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP). Ada sejumlah pasal yang menjadi sorotan dari kalangan kelompok masyarakat sipil dalam revisi ini. DPR sendiri mengklaim telah menyerap aspirasi publik.
Komisi III DPR telah membahas total 1.676 Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dalam revisi RUU KUHAP. Rinciannya sebanyak 1.091 pasal dipertahankan, 68 pasal diubah, 91 pasal lama dihapus, 131 pasal baru, dan 256 perubahan redaksional.

Berikut poin-poin pembahasan RUU KUHAP yang dirangkum dari berbagai pemberitaan sebelumnya:

1. Polri Ditegaskan Sebagai Penyidik Utama

Ketua Komisi III DPR Habiburokhman membantah, draf RUU KUHAP memperkuat kewenangan Polri. Menurutnya, status Polri sebagai penyidik utama hanya ditegaskan secara redaksional dalam draf revisi. “Tidak benar Polri menjadi lebih powerful,” ujarnya, dalam konferensi pers, Jumat, 11 Juli 2025.

Ia menyatakan justru ada pengurangan kewenangan karena revisi kali ini mengakomodasi keberadaan penyidik dari lembaga lain seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, Kejaksaan Agung, dan instansi tertentu yang sebelumnya tidak disebutkan dalam KUHAP lama.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti Maria Silvy menilai, penetapan Polri sebagai penyidik utama dalam semua penyidikan tindak pidana sangat berbahaya. Menurut dia, status penyidik utama akan berdampak pada mekanisme pembuktian.      

2. Durasi Penangkapan Dikembalikan ke 1x24 Jam

Komisi III DPR menyepakati, maksimal penangkapan oleh aparat penegak hukum adalah 1X24 jam. "Kesepakatannya sama dengan KUHAP lama, yaitu 1X24 jam. Penangkapan dilakukan paling lama satu hari, kecuali undang-undang teroris dan lain-lain," ujar Habiburokhman.

Kesepakan terbaru tersebut sekaligus menganulir hasil pembahasan awal Komisi III DPR yang tertuang dalam DIM bahwa penangkapan paling lama 7 X 24 jam. 

3. Mahkamah Agung Tetap Bisa Menjatuhkan Vonis Lebih Berat

Komisi III DPR dan pemerintah juga sepakat mencabut Pasal 293 ayat 3 yang sebelumnya membatasi Mahkamah Agung untuk tidak menjatuhkan pidana lebih berat dari putusan pengadilan sebelumnya. “Jadi tidak ada ketentuan bahwa Mahkamah Agung tidak boleh menjatuhkan hukuman yang lebih berat daripada pengadilan sebelumnya,” kata Habiburokhman seperti dikutip dari Antara, 10 Juli 2025.

Dengan begitu, politikus Partai Gerindra ini memastikan Mahkamah Agung tetap bisa menjatuhkan hukuman sesuai keyakinannya, baik hukuman yang lebih berat atau lebih ringan dari putusan pada pengadilan sebelumnya.

Adapun usulan Pasal 293 ayat 3 dalam DIM RUU KUHAP itu berbunyi, “dalam hal Mahkamah Agung menjatuhkan pidana terhadap terdakwa maka pidana tersebut tidak boleh lebih berat dari putusan judex factie (putusan di tingkat pengadilan sebelumnya).”

Pasal yang muncul itu merupakan substansi baru yang diusulkan oleh pemerintah melalui DIM. Awalnya, kata dia, Pasal 293 tersebut hanya memiliki dua ayat tentang peran Mahkamah Agung dalam tahapan kasasi perkara.

4. Larangan Siaran Langsung Persidangan Dihapus

Pemerintah dan DPR sepakat menghapus larangan publikasi siaran langsung persidangan. Ketentuan itu mulanya termaktub dalam Pasal 253 RUU KUHAP. Habiburokhman mengatakan usulan penghapusan pasal itu diambil setelah mendengarkan masukan dari koalisi masyarakat sipil termasuk dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia.

5. Draf Tandingan dari Koalisi Masyarakat Sipil

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP meluncurkan draf tandingan sebagai bentuk perlawanan terhadap draf resmi versi DPR dan pemerintah. Draf tersebut disusun kolektif oleh puluhan organisasi advokasi hukum, antara lain ICJR, YLBHI, PBHI, Amnesty International Indonesia, Kontras, LBH Jakarta, LBH Masyarakat, LBH Pers, ELSAM, dan ICW.

Koalisi menyebut revisi DPR cenderung otoriter, memperluas kewenangan aparat tanpa pengawasan yang efektif, dan mengecilkan peran warga negara dalam sistem peradilan pidana. Draf tandingan itu disebut sebagai “kontrapropaganda hukum” terhadap legislasi yang mereka anggap bermasalah.

Peneliti Kontras, Hans Giovanny Yosua, menegaskan pentingnya pengaturan prosedur penegakan hukum secara hati-hati demi mencegah pelanggaran hak warga. Ia menekankan perlunya pengawasan ketat oleh pengadilan terhadap upaya paksa agar tak terjadi penyiksaan atau kekerasan terhadap tersangka. “Supaya dalam prosesnya tidak terjadi pelanggaran hak warga negara, dan tidak terjadi kesewenang-wenangan dalam proses penegakan hukum pidana,” kata Hans.

Draf setebal 225 halaman itu memuat prinsip perlindungan terhadap tersangka, korban, saksi, serta penyandang disabilitas; penguatan pengawasan melalui Hakim Komisaris yang independen; hingga pembaruan sistem peradilan pidana yang demokratis dan transparan.

Koalisi menyatakan, pembahasan RUU KUHAP selama ini hanya bersifat formalitas. Mereka menilai tidak ada partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation), melainkan manipulasi partisipasi (manipulation participation). Mereka pun membandingkan proses ini dengan pembentukan sejumlah undang-undang kontroversial seperti revisi UU KPK, UU Minerba, UU TNI, dan UU Cipta Kerja. “Legislasi tak lagi bertujuan untuk melindungi rakyat, namun menjadi alat penguasa,” tulis Koalisi dalam pernyataan bersama, Rabu, 9 Juli 2025.

Menanggapi hal itu, Habiburokhman mempersilakan masyarakat untuk menyusun draf tandingan. “Ya silakan, masukan ke sini ya. Kalau mau bikin draf undang-undang, jadi anggota DPR gitu loh,” katanya.

Ia juga menepis tudingan bahwa partisipasi dalam penyusunan RUU KUHAP hanyalah retorika. Menurutnya, Komisi III telah menerima masukan dari 53 pihak dengan latar belakang berbeda. “Silakan masyarakat menilai, kami yang omong kosong atau mereka yang omong kosong,” ucapnya.

6. Izin Penahanan dan Penangkapan

Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Iftitah Sari, mengatakan naskah DIM RUU KUHAP yang disusun pemerintah tidak banyak mengubah substansi draf RUU KUHAP yang dibuat DPR. Padahal, draf RUU KUHAP versi DPR dinilai banyak mengandung masalah. “Isi DIM-nya cenderung mengamini draf yang lama, nggak ada perubahan substansial. Kalau pun ada perubahan justru makin buruk,” ujar Tita di kantor Tempo pada Kamis, 3 Juli 2025.

Salah satu persoalan dalam naskah DIM RUU KUHAP yang disorot Tita adalah tentang izin hakim dalam upaya paksa penangkapan dan penahanan oleh penyidik. DIM RUU itu, kata dia, memang mencantumkan kewajiban penyidik untuk memperoleh izin dari hakim setempat sebelum melakukan upaya penangkapan dan penahanan.

Namun, pasal itu juga mengandung ayat yang mengecualikan izin hakim dalam kondisi mendesak tertentu. Salah satu dasar penentuan keadaan mendesak yakni penilaian subyektif penyidik. Menurut Tita, penilaian subyektif penyidik itu hanya akan melegitimasi permasalahan-permasalahan pelanggaran hak asasi manusia dalam proses upaya paksa yang terjadi saat ini.



0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama